KabarSunda- Pusat Statistik (BPS) merilis data mengenai persentase etnis yang paling banyak meraih gelar sarjana.
Dalam daftar tersebut, etnis Sunda masuk dalam 10 besar dengan persentase sebesar 7,59 persen.
Dari data BPS, suku Sunda menempati urutan ke-9 suku dengan persentase sarjana terbanyak.
Menanggapi data tersebut, pengamat sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Profesor Fadhil Nurdin, menilai bahwa hasil studi ini harus dianalisis dari berbagai sudut pandang sosiologis.
Ia menekankan pentingnya melihat data secara komprehensif, bukan sekadar mengambil angka tanpa kajian mendalam.
“Sesuai gak dengan realitasnya? Kalau segi sosiologis nya kita harus lihat dari sisi hasil studi, bukan hanya ngambil data ceplok sana ceplok sini. Hasil studi ini menurut saya sangat penting, ini pilarnya, apa yang perlu, ini kajian,” ucap Fadhil saat dihubungi, Selasa, 4 Februari 2025.
Fadhil menyoroti beberapa faktor sosiologis yang berkontribusi terhadap tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Jawa Barat:
- Kondisi ekonomi
Banyak masyarakat di Jawa Barat yang memiliki tingkat pendapatan yang rendah sehingga tak mampu membiayai pendidikan tinggi.
- Latar Belakang Pendidikan Orangtua
Orangtua yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi mungkin tidak memiliki motivasi atau sumber daya untuk mendukung anak-anak mereka melanjutkan pendidikan tinggi.
- Ketersediaan akses pendidikan
Ketersediaan akses pendidikan tinggi di Jawa Barat yang mungkin terbatas terutama di daerah pedesaan atau terpencil.
- Budaya dan nilai
Budaya dan nilai masyarakat di Jawa Barat mungkin tidak mengutamakan pendidikan tinggi sebagai prioritas.
“Kondisi ekonomi budaya dan agama itu faktor penentu. Kalau dari sisi ekonomi, mampu gak sih masuk pendidikan tinggi. Dari sisi budaya, ada gak nilai yang mendukung mereka sekolah ke perguruan tinggi,” kata Fadhil.
- Keterlibatan masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan tinggi mungkin rendah, sehingga tidak ada dorongan atau dukungan atau melanjutkan pendidikan tinggi.
- Kualitas pendidian dasar dan menengah
Kualitas pendidikan dasar dan menengah di Jawa Barat mungkin tak memadai sehingga tak mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
“Jadi persoalanya tidak sederhana, kita harus melihat dari sisi motivasi pendidikan dan budaya. Motivasi itu harus dilandaskan pada latar pendidikan dan nilai budaya. Kalau misal saya sentuh sisi ekonomi sekarang, nilai budaya motivasinya budaya apa sih, cukup makan kerja, ngapain, apa kepentingannya, ada fashion gak? Ada keinginan untuk maju gak? Nah, ini juga pertanyaanya,” ujar Fadhil.
- Faktor Geografis:
Faktor geografis seperti jarak dan aksesibilitas ke lembaga pendidikan tinggi juga bisa menjadi hambatan bagi masyarakat di Jabar.
“Dari sisi geografis, masyarakat pedesaan di Sunda tak mikir buat untuk pendidikan tinggi, boro-boro. Nah, ini budaya mereka. Jadi yang sisi eksternal juga dukungan masyarakat terutama pemda yang mendukung masyarakat berpendidikan tinggi kayaknya lemah sekali,” ujar Fadhil.
“Karena perguruan tinggi di Bandung Jabar ini orang buat untuk menyerap pendidikan tinggi calonnya dari Indonesia bahkan dari dunia, tapi dari sisi kebijakan daerah tidak ada yang mendukung,” ujarnya.
Kebijakan pendidikan yang tidak mendukung pendidikan tinggi dinilai mungkin menjadi faktor penyebab rendahnya pendidikan tinggi di Jawa Barat.
Selain itu ketersediaan sumber daya seperti dana, fasilitas, dan tenaga pengajar dipandang mungkin tak memadai untuk mendukung pendidikan tinggi di Jawa Barat.
“Penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya pendidikan tinggi di Jawa Barat,” ucapnya.
Fadhil juga menyertakan beberapa teori perspektif terkait hal ini, seperti teori Struktural-Fungsional (Talcott Parsons, Emile Durkheim).
Dari perspektif ini, rendahnya partisipasi masyarakat Sunda dalam pendidikan tinggi dapat dikaitkan dengan struktur sosial dan nilai budaya yang menekankan fungsi kolektif dibanding individualisme akademik.
Dalam beberapa komunitas lokal, pendidikan tinggi mungkin tidak dianggap sebagai kebutuhan utama karena sistem sosial telah mengembangkan mekanisme lain untuk mempertahankan keseimbangan, seperti sektor pertanian, perdagangan, atau industri kreatif berbasis kearifan lokal.
Sementara dari teori Konflik (Karl Marx, Pierre Bourdieu), pendekatan ini menyoroti adanya ketimpangan struktural dalam akses pendidikan tinggi, terutama akibat faktor ekonomi dan modal sosial.
Adapun Bourdieu (1986) menjelaskan bahwa pendidikan tinggi sering kali didominasi oleh kelompok dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih tinggi.
Jika akses terhadap modal-modal ini terbatas dalam masyarakat Sunda, maka peluang untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana pun menjadi rendah.
Kapital budaya dalam bentuk habitus keluarga yang kurang menekankan pentingnya gelar akademik juga dapat berkontribusi pada rendahnya minat pendidikan tinggi.
Dari perspektif makro, kata Fadhiel, kebijakan pendidikan di Indonesia masih menghadapi kendala dalam pemerataan akses dan kualitas.
Menurut penelitian dalam sosiologi pendidikan (Apple, 2004), sistem pendidikan sering kali lebih mengakomodasi kelompok sosial-ekonomi tertentu, sementara masyarakat di luar pusat ekonomi utama cenderung mengalami keterbatasan dalam aksesibilitas, baik dalam bentuk biaya, infrastruktur, maupun ekspektasi sosial.
Pemerintah dan stakeholder lainnya berperan penting dalam mendukung masyarakat berpendidikan tinggi.
Pasalnya, pendidikan tinggi yang dibuat di Bandung dan Jawa Barat ini tak hanya untuk menyerap calon berpendidikan tinggi secara nasional atau Internasional saja, tapi juga mendukung calon pendidikan tinggi lokal daerahnya.
“Dari sisi kebijakan daerah tidak ada yang mendukung (orang lokal), misalnya kabupaten atau dinas-dinas, bupatinya, gak ada yang mendukung supaya pendidikan tinggi setinggi tingginya,” ujarnya.
Fadhil juga berpandangan bahwa pemerintah daerah tak ada yang memfasilitasi akses orang-orang lokal untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi S1, S2, S3 dan lainnya.
“Jadi apa yang penting dari sosiologi nya perlunya kebijakan dari pemda dari tingkat rendah kabupaten provinsi supaya misal beasiswa anak asli Sunda atau daerah tertentu, misal setahun 20-50 untuk masuk sarjana, pascasarjana, sekarang gak kedengar kebijakan pada level itu,” ucapnya.
Fadhil mendorong para pemangku kepentingan untuk merumuskan kebijakan daerah yang mempermudah akses pendidikan tinggi bagi warga lokal, misalnya dengan menyediakan 100 beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat khusus bagi calon mahasiswa dari daerah setempat.
“Saya mendorong semua pihak stakeholder, multistakeholder baik dari pemda, lembaga masyarakat atau pusat dana untuk pendidikan tinggi di Jabar. Jangan hanya dibuka, tapi gak ada kebijakan daerah, apalagi dikerjasamakan misal untuk UPI atau Unpad misal. Ya, semua level nasional, internasional tapi yang lokal ditinggalkan,” kata dia.