KabarSunda.com- Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadiย belakangan menjadi perbincangan publik karena mengeluarkan keputusan-keputusan yang dianggap kontroversial.
Setelah resmi dilantik sebagai orang nomor satu di Jawa Barat, Kamis (20 Februari 2025), Kang Dedi, sapaan Dedi Mulyadi, sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra.
Dimulai dengan laranganย study tourย bagi pelajar SMA/SMK, hingga pembenahan kawasan Puncak Bogor yang dinilai sebagai biang berok banjir di wilayah Bogor, Depok, dan Bekasi (Bodebek).
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Kristian Widya Wicaksono menilai, Kang Dedi memiliki gaya kepemimpinan otokratik yang tidak bisa disamakan dengan otoriter.
“Otokratik itu dia mengambil keputusan tanpa melibatkan bawahan,” kata Kristian, Senin, 17 Maret 2024.
Menurut dia, Kang Dedi memilih mengambil keputusan sendiri dan tidak mendiskusikan dengan bawahannya karena punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi, sehingga merasa bisa memutuskannya tanpa melibatkan siapa pun.
“Alasannya, orang itu memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Karena dia bisa merasa pengetahuan dan informasi yang dia miliki sudah memadai untuk pengambilan keputusan,” ungkap Kristian.
Selain itu, gaya kepemimpinan Dedi yang kerap terjun langusng ke masyarakat melihat permasalahan di lapangan membuatnya memiliki kuasa mengambil keputusan secara spontan.
“Dedi Mulyadi tipenya turun ke masyarakat, dia merasa informasi dan pengetahuan yang dia miliki karena dia terjun langsung, dia merasa itu sudah cukup,” katanya.
Kristian menambahkan jika Kang Dedi terus melanjutkan gaya kepemimpinan otokratik seperti ini, maka apabila ke depan ada masalah, komunikasi antarbirokrasi tidak ada terjalin karena tak dibangun sejak awal.
Kepala dinas dan staf ahli tidak akan punya rasa tanggung jawab akan situasi yang sedang berkembang.
“Pertama, rasa memiliki terhadap keputusan yang diambil. Saya tidak ikut bertanggung jawab dengan keputusan ini yang sudah dibuat atasan saya,” ungkapnya.
“Ketika ada konsekuensi negatif mereka cenderung menghindarkan diri. Artinya, saya tidak ikut-ikutan, sehingga tidak ada rasa memiliki tadi,” tambahnya.
Kedua, lanjut dia, saat masalah muncul maka bawahan harus membereskan, padahal mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
“Ini kurang baik, karena membangun pola ‘bawahan tahunya belakangan’, hanya sekadar ketika masalah muncul,” kata dia.
Lebih lanjut, kata dia, Kang Dedi sebagai kepala daerah yang berpengalaman, semestinya paham pentingnya sistem birokrasi di pemerintahan.
Kristian berharap mantan bupati Purwakarta itu bisa melibatkan aparatur sipil negara (ASN) lain dalam pengambilan keputusan lainnya.
“Semestinya dia paham, kan, sudah bekerja 10 tahun dengan birokrasi. Artinya birokrasi itu tidak hanya melaksanakan keputusan, dia harus ada rasa tanggungjawab terhadap konsekuensi setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh pimpinan,” ungkapnya.