KabarSunda.com- Pecopotan Kepala Sekolah (Kepsek) Menengah Atas Negeri (SMAN) 6 Depok, Siti Faisah M Pd oleh Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi menuai pro kontra.
Kegiatan study tour Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) merupakan pendekatan pembelajaran lintas disiplin ilmu yang bertujuan untuk memperkuat kompetensi dari karater siswa.
Namun, study tour ini justru membuat Kepsek SMAN 6 Depok dicopot dari jabatannya.
Ketua Pusat Lembaga Bantuan Hukum Peradi Bandung, Fidelis Giawa menilai, tindakan Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jabar sudah abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Dedi melakukan langkah tegas dengan memecat Kepala SMA 6 Depok, seusai dirinya dilantik sebagai gubernur.
Pemecatan dilakukan karena sekolah tetap menjalankan kegiatan study tour.
Padahal telah diimbau melalui surat edaran Sekretaris Daerah untuk ditunda.
Menurut Fidelis, tindakan Dedi Mulyadi selaku gubernur bisa jadi sah menurut sudut pandang ilmu pemerintahan.
Tapi bisa jadi juga tak sah dari sudut pandang kepegawaian, karena tidak didahului dengan peringatan, klarifikasi atau mekanisme prosedur lainnya.
“Saya tidak membahas hal ini dari sudut pandang legal formal, melainkan dari sudut pandang moral kekuasaan. Pemecatan Kepala SMA 6 Depok tersebut dapat dipandang sebagai moral abuse of power, sebagai kesewenangan,” kata Fidelis kepada KabarSunda.com, Jumat, 21 Februari 2025.
Apalagi, lanjut Fidelis, Dedi Mulyadi sering dipanggil oleh rakyat yang bersimpati padanya sebagai “Bapak Aing”.
Dimana Dedi Mulyadi selalu mengedepankan adab dan budaya Sunda sebagai spirit kepemimpinannya.
“Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah tindakan Dedi Mulyadi memecat seorang kepala sekolah hanya beberapa saat setelah dirinya dilantik? Apakah ini sudah mencerminkan sikap seorang bapak dan spirit Sunda yang silih asih, silih asah dan silih asuh?” tanya Fidelis.
Jika jika diminta menilai, maka Fidelis mengaku bahwa tidak ada spirit kebapakan dan spirit kesundaan dalam tindakan Dedi Mulyadi tersebut.
Justru tindakannya tersebut lebih mencerminkan sikap kaisar otoriter zaman kegelapan yang mengeksekusi pelanggaran dan pembangkangan di hadapan publik, yang dalam konteks saat ini tidak dilakukan di lapangan terbuka, melainkan di media sosial yang jangkauan pertontonannya lebih luas dan massif.
Fidelis menambahkan, bagi si terhukum atau penerima sanksi, pemberian sanksi ini adalah pameran penjatuhan martabat di hadapan publik, bukan sekadar penerimaan konsekuensi pertanggungjawaban.
“Dimana sikap kebapakan dan spirit silih asih, silih asah dan silih asuh kalau cara penjatuhan sanksinya seperti ini?” tandasnya.
Menurut dia, publik memang sangat mudah teriring untuk mendukung keterbukaan, termasuk dalam cara Dedi Mulyadi membongkar tradisi jahat dan maling yang telah jadi penyakit kronis di tubuh birokrasi pemerintahan.
Publik terhipnosis dengan langkah terbuka Dedi Mulyadi mengevaluasi skema penganggaran yang mubazir, seperti anggaran ganti kabel dan bohlam di mata anggaran Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat.
Namun, kata Fedilis mengingatkan, dibalik euphoria dukungan publik jangan sampai mendistorsi semangat kerja dan pengabdian.
Gerakan Dedi Mulyadi bukan menyuntikkan spirit pembaharu birokrasi yang bersih, tapi malah menghasilkan personel birokrat yang cari aman, malas berinovasi dan enggan mengambil keputusan karena khawatir dipermalukan di depan publik.
Di mata Fidelis, Dedi Mulyadi sepertinya mencoba merefleksi gaya populis Ganjar Pranowo saat menjadi Gubernur Jateng pada periode pertama, dimana dia membuat konten video saat melakukan sidak tertutup di jembatan timbang.
Publik memang memberi dukungan, tapi di balik layar, para birokrat aparatur sipil negara (ASN) melakukan boikot diam-diam, sehingga Ganjar mengubah gaya kepemimpinannya.
“Publik tak ada yang bertanya kenapa Ganjar Pranowo pada periode kedua sebagai Gubernur Jateng tidak mengekspos vulgar upaya kontrol dan pemberian sanksi kepada aparatur birokrat Pemprov Jateng,” tandasnya.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, aku Fidelis, bahwa gaya Ganjar yang men-judge anak buah di depan publik (melalui konten) tak berkenan di hati para birokrat dan tentunya senafas dengan kultur masyarakat Jawa Tengah.
Penjatuhan sanksi yang cepat dan keras kepada Kepala SMA Negeri 6 Depok, tak menutup kemungkinan menjadi kontra produktif dari niat Dedi Mulyadi untuk ‘merevolusi’ mental birokrat, karena tidak cara yang terlalu menggebu dan lepas dari spirit kultur Sunda silih asih, silih asah silih asuh.
Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi, lanjut dia, adalah tindakan pemerintahan yang mungkin saja sah atau legal, tapi tindakan tersebut telah cacat secara moral.
Tindakan pemberian sanksi tersebut lebih terlihat sebagai pamer kekuasaan dari pada pemberian efek jera.
“Sebelum terlambat dan bergulir menjadi gerakan pembangkangan birokrat, ada baiknya Dedi Mulyadi melakukan refleksi dan mengurangi pamer tindakan pemerintahannya melalui medsos,” saran Fidelis.
“Keterbukaan itu penting tapi tak semua hal harus dipamer dan dilakukan secara terbuka,” pungkasnya.