Haji Purwa: Perjalanan Bratalegawa Menjadi Muslim

Dewa Bratalegawa orang pertama masuk islam di sunda (int)

kabarsunda.com– Bratalegawa, dikenal pula sebagai Haji Purwa atau Haji Baharudin al-Jawi, merupakan tokoh penting dalam sejarah awal Islam di Tatar Sunda.

Sebagai sosok bangsawan sekaligus saudagar, Bratalegawa adalah orang Sunda pertama yang tercatat memeluk agama Islam.

Ia merupakan putra Kerajaan Galuh dan anak dari Prabu Bunisora, yang kisahnya tercatat dalam beberapa naskah kuno Sunda seperti Carita Parahyangan, Carita Purwaka Caruban Nagari, serta beberapa wawacan dan babad Cirebon.

Silsilah Keluarga dan Masa Muda

Bratalegawa lahir dari keluarga kerajaan Galuh, sebagai putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau yang lebih dikenal dengan nama Bunisora.

Bunisora memimpin Galuh setelah Perang Bubat pada tahun 1357 yang membawa dampak besar bagi kerajaan ini. Dalam insiden Perang Bubat, kakak Bunisora yang bernama Prabu Linggabuana gugur bersama putrinya, Dyah Pitaloka, yang juga merupakan sepupu dari Bratalegawa.

Setelah Perang Bubat, Bunisora memegang takhta sementara hingga keponakannya, Anggalarang, dianggap cukup dewasa untuk memimpin.

Sebagai bangsawan Kerajaan Galuh, Bratalegawa memiliki akses terhadap pendidikan dan pengetahuan yang luas, serta kesempatan untuk mengunjungi berbagai wilayah di Nusantara dan sekitarnya.

Dikenal sebagai saudagar, ia banyak melakukan perjalanan dagang yang kemudian membawanya berinteraksi dengan agama Islam.

Interaksi Awal dengan Islam

Pengalaman Bratalegawa dalam berdagang membuatnya sering bepergian keluar dari wilayah Nusantara.

Dalam salah satu perjalanan dagangnya ke India, yang pada waktu itu berada di bawah Kesultanan Delhi, Bratalegawa bertemu dengan pedagang-pedagang Arab yang juga sedang berdagang di sana.

Dari pertemuan inilah ia mulai mengenal dan tertarik dengan ajaran Islam, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memeluk agama tersebut.

Di India, Bratalegawa bertemu dengan Farhana binti Muhammad, seorang muslimah dari Gujarat, yang kemudian menjadi istrinya. Bersama Farhana, ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, pengalaman yang mengubah namanya menjadi Haji Baharudin al-Jawi.

Sebagai orang pertama dari Kerajaan Galuh yang menjalankan ibadah haji, Bratalegawa kemudian dijuluki sebagai Haji Purwa oleh masyarakat Sunda.

Dalam bahasa Sunda, “purwa” berarti awal atau pertama, sehingga Haji Purwa berarti “Haji Pertama.” Julukan ini mengukuhkan Bratalegawa sebagai pelopor Islam di tanah Sunda, menjadi awal mula penyebaran agama Islam di wilayah tersebut.

Upaya Penyebaran Islam di Tatar Sunda

Sekembalinya dari Mekkah pada tahun 1337, Bratalegawa kembali ke Kawali, ibu kota Kerajaan Galuh. Di sana, ia berupaya memperkenalkan ajaran Islam kepada keluarga kerajaan dan lingkungannya.

Salah satu upayanya adalah mengajak kedua saudara kandungnya, Giri Dewanti dan Ratu Banawati, untuk memeluk Islam.

Namun, ajakan tersebut tidak mendapat sambutan baik dari keluarganya, karena pengaruh Hindu yang masih sangat kuat di lingkungan istana.

Islam pada masa itu masih merupakan agama yang baru dikenal di Nusantara, terutama di kalangan istana yang berpegang teguh pada tradisi Hindu dan Budha.

Menghadapi tantangan tersebut, Bratalegawa memutuskan untuk keluar dari lingkungan istana dan pindah ke Caruban Girang, sebuah wilayah pesisir yang kini dikenal sebagai Cirebon.

Wilayah ini masih termasuk bagian dari kekuasaan Galuh, namun letaknya yang berada di pesisir menjadikannya daerah yang lebih terbuka terhadap pengaruh budaya dan agama baru, termasuk Islam.

Keberhasilan Bratalegawa di Caruban Girang

Di Caruban Girang, Bratalegawa berhasil menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Dengan bimbingan dan teladannya, semakin banyak penduduk yang memeluk agama Islam dan mulai membentuk komunitas muslim pertama di wilayah pesisir Tatar Sunda.

Keberhasilan Bratalegawa di Caruban Girang menandai awal mula berkembangnya Islam di Tatar Sunda, khususnya di pesisir Cirebon yang nantinya menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Kerajaan Sunda dan Galuh.

Komunitas muslim yang terbentuk di Caruban Girang ini merupakan cikal bakal dari pusat penyebaran Islam yang lebih besar di kemudian hari.

Ketika Bratalegawa wafat, pengaruh Islam yang ia tinggalkan di Caruban Girang terus berkembang. Cirebon kemudian menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat berpengaruh di Tatar Sunda, terutama dengan kehadiran tokoh-tokoh penting seperti Sunan Gunung Jati yang melanjutkan penyebaran Islam hingga mencapai puncaknya.

Warisan Bratalegawa bagi Penyebaran Islam di Indonesia

Bratalegawa atau Haji Baharudin al-Jawi, sebagai seorang pangeran dan saudagar, adalah pelopor dari penyebaran agama Islam di wilayah Sunda.

Meskipun awalnya menghadapi banyak tantangan, terutama dari pihak kerajaan yang masih terpengaruh kuat oleh ajaran Hindu, kegigihannya dalam menyebarkan Islam di Caruban Girang menjadikannya salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam di Nusantara.

Warisan Bratalegawa terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya, dan Cirebon berkembang menjadi pusat dakwah yang tidak hanya penting di Jawa Barat tetapi juga berpengaruh di seluruh Nusantara.

Bratalegawa bukan hanya sekadar seorang saudagar atau pangeran, tetapi ia juga adalah tokoh yang berjasa dalam membentuk komunitas muslim pertama di pesisir Jawa Barat.

Dengan memilih berdakwah di wilayah yang lebih terbuka, ia membangun dasar yang kokoh bagi penyebaran Islam di Tatar Sunda, sebuah langkah yang kemudian dilanjutkan oleh generasi setelahnya hingga agama Islam menyebar ke seluruh penjuru Jawa dan wilayah lainnya di Indonesia.