Budaya  

Pasar Cihapit, Zaman Jepang Jadi Kamp Tawanan Perempuan dan Anak-anak

Pasar Cihapit pertama kali sekitar tahun 1947.(Dok-int)

KabarSunda.com- Pasar Cihapit muncul pertama kali sekitar tahun 1947. Dari lahan terbuka tak jauh dari tempat memandikan kuda, ia tumbuh menjadi bangunan pasar yang sering dijadikan lokasi program-program percontohan. Terakhir, pada pertengahan Februari 2021 lalu, di Pasar Cihapit diluncurkan gerakan mengurangi penggunaan kantong belanja plastik sekali pakai.

Pegiat Komunitas Aleut, Ariyono Wahyu Widjajadi mengungkapkan, perkembangan Pasar Cihapit tidak bisa dipisahkan dari perkembangan kawasannya terutama sejak 1920-an ketika rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung bergulir kencang. Kawasan Cihapit disiapkan terutama sebagai kawasan hunian bagi apra pegawai instansi yang gedung-gedung perkantorannya didirikan di kawasan Gedung Sate.

“Nah untuk pegawai rendahan, bentuk perumahannya itu seperti di kawasan Gempol. Pejabat tingginya di kawasan Riau. Juga dibangun komplek-komplek (permukiman) di sekitar Taman Pramuka dan Cihapit untuk pejabat menengah ke bawah,” ujar Ariyono yang akrab disapa Alex.

Pele Widjaja dalam buku Kampung Kota Bandung (2013) menyebut program pembangunan kawasan baru yang dinamai kleinwaningbouw itu telah menggusur kampung Cihapit yang sebelumnya sudah ditinggali penduduk. Selain Cihapit, kampung Gempol dan Teloekboejoeng mengalami nasib serupa. Kleinwaningbouw adalah perumahan bagi pekerja kelas rendah Belanda yang termasuk dalam areal kawasan Archipelwijk.

“Rumah-rumah kecil ini ditempatkan di daerah kantung di dalam blok yang dikelilingi oleh rumah vila besar dnegan masing-masing unit lingkungan dilengkapi pertokoan dengan gaya toko Tionghoa,” tulis Pele.

Ariyono menambahkan, hingga awal 1930–an, telah terbangun sekitar 800-an rumah tinggal. Namun akibat krisis ekonomi dunia, pembangunan tidak dilanjutkan. Beberapa sisa bangunan ini masih bisa ditemui di kawasan jalan Cihapit dan jalan Sabang.

Di masa pendudukan Jepang, Pasar Cihapit memiliki kisah kelam. Ia jadi bagian dari daerah hunian yang difungsikan sebagai kamp tawanan bagi perempuan dan anak-anak. Robert P. G. A Voskuil dalam buku Bandung: Citra sebuah Kota (2017), menyebut daerah hunian itu berbatasan dengan Jalan Riau, Jalan Cihapit, Jalan Ciliwung, Jalan Supratman, dan Jalan Jenderal Ahmad Yani.

Pernah ada 14 ribu orang yang ditawan di sana dari akhir November 1942 hingga Desember 1944. Lalu, 10 ribu di antaranya dipindahkan ke berbagai kamp di Jakarta, Bogor, dan Jawa Tengah. Sisanya sekitar 4 ribu orang baru dipindahkan ke Jakarta pada bulan Mei 1945.

“Pertengahan Agustus 1945, tinggal sekitar 60 orang, tetapi sesudah Jepang menyerah sampai 1946 datang beribu-ribu penghuni baru yang terdiri dari para pengungi,” tulis Voskuil.

Ariyono Wahyu Widjajadi mengatakan, sebagian besar dari para tawanan di Cihapit adalah warga Eropa. Meski terkurung dalam kompleks, mereka masih diperbolehkan berintekasi dengan keluarga lewat surat.

“Namun harus menggunakan huruf-huruf kanji juga agar bisa dibaca oleh penjaga,” ungkapnya.

Kampung Cihapit yang dibangun untuk pekerja kelas rendah itu kini telah berkembang pesat. Berada tidak jauh dari pusat pemerintahan, dan sekarang juga dikelilingi oleh pusat-pusat ekonomi, ia sekarang justru lekat dengan cap kawasan elite. Para warga kawasan di kawasan inilah, juga mereka yang bekerja di kantor dan toko di sana, yang membuat Pasar Cihapit lestari. (int/KS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *