KabarSunda.com- Rencana Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi mengirim siswa yang bermasalah ke barak militer tersebut mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, mengingatkan agar kebijakan pendidikan militer untuk siswa tidak mengabaikan hak dasar siswa untuk memperoleh pendidikan formal.
“Tanpa mengabaikan hak-hak dasar siswa untuk mendapatkan pendidikan yang menyeluruh dan berorientasi pada pengembangan potensi siswa,” ujar Lalu seperti dilansir Kompas.com, Senin, 28 April 2025.
Lalu berpendapat, secara umum, pendidikan militer dapat membangun karakter disiplin pada anak muda.
Namun, menurutnya, wacana ini perlu dikaji lebih dalam dan dibahas melalui dialog dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat, praktisi pendidikan, dan masyarakat.
“Artinya, dalam konteks gagasan, wacana pendidikan militer ini memang perlu dikaji mendalam,” ucapnya.
Lalu menyampaikan kekhawatirannya bahwa program ini dapat mengalihkan fokus pendidikan dari tujuan utama, yaitu pengembangan akademik dan keterampilan hidup.
Ia juga mengingatkan bahwa kurikulum pendidikan nasional saat ini sudah mengintegrasikan nilai-nilai bela negara melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN).
“Konsep bela negara lebih ditekankan pada pembangunan kesadaran nasionalisme, cinta tanah air, dan kesiapan mental-spiritual untuk membela negara, bukan melalui pelatihan militer fisik,” terang Lalu.
Menurut Lalu, beberapa instansi seperti Kementerian Pertahanan telah menyelenggarakan program bela negara secara sukarela untuk masyarakat umum. Ia merujuk pada Permenhan No 8 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan Kesadaran Bela Negara, yang menyesuaikan materi bela negara berdasarkan jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.
Lalu menilai bahwa pendidikan karakter dan nasionalisme sudah semestinya menjadi bagian integral dari kurikulum yang ada. Ia menekankan bahwa penguatan kurikulum dan penerapan program-program pendidikan karakter yang relevan jauh lebih penting daripada menerapkan model pelatihan militer bagi siswa.
“Pendidikan bela negara yang ada saat ini harus disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks pendidikan nasional,” tegasnya.
Mengingat kompleksitas dunia pendidikan, Lalu mengingatkan agar pengembangan karakter siswa tetap dilakukan dalam kerangka pendidikan formal dan tidak melanggar hak-hak siswa. Ia menegaskan perlunya pendekatan berbasis penguatan kurikulum yang menekankan nilai-nilai nasionalisme, ketahanan mental, serta keterampilan abad ke-21.
“Kita perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tetap berpihak kepada perkembangan pendidikan anak bangsa secara utuh,” ujarnya.
Lalu menyampaikan kekhawatirannya bahwa program ini dapat mengalihkan fokus pendidikan dari tujuan utama, yaitu pengembangan akademik dan keterampilan hidup.
Ia juga mengingatkan bahwa kurikulum pendidikan nasional saat ini sudah mengintegrasikan nilai-nilai bela negara melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN).
“Konsep bela negara lebih ditekankan pada pembangunan kesadaran nasionalisme, cinta tanah air, dan kesiapan mental-spiritual untuk membela negara, bukan melalui pelatihan militer fisik,” terang Lalu.
Menurut Lalu, beberapa instansi seperti Kementerian Pertahanan telah menyelenggarakan program bela negara secara sukarela untuk masyarakat umum. Ia merujuk pada Permenhan No 8 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan Kesadaran Bela Negara, yang menyesuaikan materi bela negara berdasarkan jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.
Lalu menilai bahwa pendidikan karakter dan nasionalisme sudah semestinya menjadi bagian integral dari kurikulum yang ada.
Ia menekankan bahwa penguatan kurikulum dan penerapan program-program pendidikan karakter yang relevan jauh lebih penting daripada menerapkan model pelatihan militer bagi siswa.
“Konsep bela negara lebih ditekankan pada pembangunan kesadaran nasionalisme, cinta tanah air, dan kesiapan mental-spiritual untuk membela negara, bukan melalui pelatihan militer fisik,” terang Lalu.
Menurut Lalu, beberapa instansi seperti Kementerian Pertahanan telah menyelenggarakan program bela negara secara sukarela untuk masyarakat umum.
Ia merujuk pada Permenhan No 8 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan Kesadaran Bela Negara, yang menyesuaikan materi bela negara berdasarkan jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.
Lalu menilai bahwa pendidikan karakter dan nasionalisme sudah semestinya menjadi bagian integral dari kurikulum yang ada.
Ia menekankan bahwa penguatan kurikulum dan penerapan program-program pendidikan karakter yang relevan jauh lebih penting daripada menerapkan model pelatihan militer bagi siswa.
“Pendidikan bela negara yang ada saat ini harus disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks pendidikan nasional,” tegasnya.
Mengingat kompleksitas dunia pendidikan, Lalu mengingatkan agar pengembangan karakter siswa tetap dilakukan dalam kerangka pendidikan formal dan tidak melanggar hak-hak siswa.
Ia menegaskan perlunya pendekatan berbasis penguatan kurikulum yang menekankan nilai-nilai nasionalisme, ketahanan mental, serta keterampilan abad ke-21.
“Kita perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tetap berpihak kepada perkembangan pendidikan anak bangsa secara utuh,” ujarnya.
Pendidikan Militer Dinilai Keliru
Pengamat pendidikan, Weilin Han menyebut bahwa membentuk kedisiplinan siswa melalui pendidikan militer bahkan kurikulum wajib militer, sangat keliru.
“Sangat keliru (membuat kurikulum wajib militer bagi siswa),” kata Weilin.
Weilin mengatakan, siswa akan belajar dengan baik dan memiliki rasa kecintaan pada belajar jika ekosistemnya memberikan kemerdekaan dan dukungan secara positif.
Kemudian, menurut Weilin, siswa yang mendapat dukungan positif tersebut diyakini akan menciptakan “student agency” atau siswa yang berdaya atau memiliki karsa sehingga lebih mudah mengelola dirinya sendiri.
“Ki Hajar Dewantara sangat percaya bahwa setiap anak akan belajar dengan baik dan penuh kasmaran (izin pinjam istilah Prof Iwan Pranoto) ketika justru ekosistem pembelajarannya mendukung secara positif dan memberikan kemerdekaan (untuk mencoba, mencari tahu, mempertanyakan, dan sebaganya),” katanya.
“Anak yang mendapatkan ‘agency’ justru akan jauh lebih mudah mengelola dirinya sendiri. ‘Agency’ ini sudah lama disebutkan dalam OECD (organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi), dan merupakan aspek mutlak dari Deep Learning yang digagas Michael Fullan, dan yang sedang Kemdikdasmen kembangkan,” ujar Weilin lagi.
Khusus terkait kedisiplinan, dia mengatakan, bukan diwujudkan melalui instansi di luar pendidikan. Sebab, itu bukan tugas pokok dari lembaga di luar pendidikan.
“Disiplin positif, merupakan wujud dalam menumbuhkan ‘agency’. Disiplin positif diimplementasikan dalam proses pembelajaran yang terus menerus, baik dalam intra maupun ekstra-kurikuler jauh lebih berdampak pada kebutuhan masyarakat di abad 21,” katanya.
Namun, Weilin juga menyinggung peran dari orang tua dan pemerintah dalam mewujudkan disiplin bagi para siswa.
“Tanggung jawab orang tua, sekolah dan pemerintah dalam urusan terkait, misalnya kebijakan dan anggaran. Trisentra pendidikan. Jelas bukan (tanggung jawab) instansi luar sekolah karena KPI (indikator kinerja utama) mereka jelas bukan itu,” ujarnya.
Atas dasar itu, Weilin menilai bahwa menciptakan disiplin positif dalam dunia pendidikan bukan dengan pelibatan unsur TNI atau Polri sebagaimana diwacanakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
“Ekosistem yang memberi ruang dan menumbuhkan ‘agency’ lebih dibutuhkan. Apalagi, bila Deep Learning diterapkan. Tentunya, bukan, dan jauh dari yang DM (Dedi Mulyadi) sebutkan,” kata Weilin.
Apalagi, menurut dia, jika tujuannya lebih besar, yakni mempersiapkan generasi yang siap bersaing di kancah global.