Budaya  

Piyagem Sukapura: Geopolitik Kerajaan Mataram Islam di Priangan

Bayang-bayang Kuasa Mataram di Bumi Pasundan (2-habis)

KabarSunda.com- Sultan Agung memang tak pernah main-main dengan klaimnya atas Priangan.

Dia segera mengambil langkah-langkah politis yang diperlukan untuk melanggengkan kekuasaan Mataram atas Priangan.

Bagi Sultan Agung, Priangan juga merupakan pijakan penting untuk ambisinya menaklukkan Batavia dan mengenyahkan VOC dari Pulau Jawa.

Meski kemudian sejarah mencatat Sultan Agung gagal menaklukkan Batavia, Bumi Priangan tetaplah penting baginya.

Bahkan, juga bagi raja-raja Mataram setelahnya.

Buktinya dapat kita temukan dalam beberapa piyagem (prasasti logam) yang dikeluarkan Sultan Agung dan raja-raja Mataram setelahnya.

Salah satu piyagem yang dimaksud adalah Piyagem Sukapura.

Muhamad Alnoza dalam “Piyagem Sukapura (1641 M): Geopolitik Kerajaan Mataram Islam di Priangan” (2022) mendedah bahwa piyagem tersebut berisi tentang penetapan tiga kabupaten di Priangan oleh Sultan Agung pada 1641.

Piyagem Sukapura juga menandai pengaturan ulang wilayah administratif di Tatar Sunda sesuai dengan kepentingan Mataram.

Dalam konteks konflik Mataram-VOC, wilayah Priangan dijadikan semacam “benteng” untuk membendung infliltrasi VOC ke wilayah inti Mataram.

Menurut Alnoza, Piyagem Sukapura juga memberi kita informasi tentang bagaimana Sultan Agung mencitrakan dirinya sebagai penguasa yang adil.

Disebutkan bahwa sang Sultan memberikan banyak hadiah kepada tiga bupati di Priangan, yakni Bupati Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), dan Parakanmuncang (sekarang masuk wilayah Nagreg, Kabupaten Bandung, dan Jatinangor, Sumedang).

Hadiah itu dinarasikan sebagai ganjaran bagi masyarakat Sunda yang telah berbakti pada sang Sultan—“prasetya maring ingsun” demikian tertulis dalam piyagem.

Uniknya, peristiwa pengangkatan dan pemberian hadiah pada ketiga bupati tersebut berasosiasi dengan peristiwa penangkapan Dipati Ukur pada 1636.

Dipati Ukur adalah seorang panglima berdarah Sunda yang mbalelo terhadap Sultan Agung dalam misi penyerbuan Batavia.

Keterangan akan hal ini tercatat dalam manuskrip Sajarah Sukapura yang ditransliterasi oleh Emuch Hermansoemantri dalam disertasinya Sajarah Sukapura: Sebuah Telaah Filologis (1979).

Dipati Ukur dikisahkan merupakan seorang bupati wedanaPriangan yang ditugaskan oleh Sultan Agung untuk membantu pasukan inti Mataram dalam menaklukkan Batavia.

Sayangnya, karena miskoordinasi dengan pasukan utama Mataram, Dipati Ukur malah disersi dari medan peperangan.

Hal itu membuat Sultan Agung berang dan memburunya untuk dihukum.

Dipati Ukur dan kroni-kroninya berhasil diringkus lalu dieksekusi dengan kejam.

Informasi dari dua sumber sejarah ini menyiratkan adanya politik kontrol yang tengah dijalankan Sultan Agung terhadap penguasa-penguasa Sunda.

Dia mencitrakan diri sebagai sosok murah hati pada rakyat Priangan yang setia sekaligus bisa berdarah dingin kepada mereka yang berani melawan.

Nina Herlina Lubis dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (1998) menyebut bahwa hegemoni politik Mataram atas Tatar Sunda sebenarnya berlangsung tak terlalu lama.

Itu berlangsung setidaknya dari abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Namun, Mataram telah menciptakan elite-elite baru di masa yang singkat itu.

Mereka inilah yang oleh orang Sunda disebut sebagai para menak atau bangsawan-bangsawan kabupaten.

Bermodalkan klaim “terahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih” (turunan bunga, tirisan madu, benih pertapa, turunan mulia), para menak Priangan itu tetap mempertahankan tradisi kuasa Mataram di Priangan.

Itu berlangsung sampai pengujung masa Kolonial.

Jejak-jejak budaya Mataram itu bahkan masih bisa kita temui sampai sekarang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *