KabarSunda.com- Kerajaan Sunda dan Galuh telah menjadi suksesor Kerajaan Tarumanegara sekira tujuh abad lebih.
Meski demikian, kerajaan ini tak bisa bertahan lebih lama.
Di paruh akhir seiring dengan melemahnya kekuatan Kerajaan Sunda, dua monarki Islam yang masih punya relasi kekerabatan dengannya, yakni Banten dan Cirebon, berhasil menundukkan beberapa pelabuhannya yang penting.
Kerajaan Sunda kemudian ditundukkan oleh Sultan Maulana Yusuf dari Banten pada 1579.
Sultan kedua Banten itu melanjutkan politik ekspansi ke pedalaman Tanah Sunda yang telah dirintis sang ayah Maulana Hasanuddin.
Demikianlah dia menyerang dan manaklukkan Pakwan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Sejumlah regalia Kerajaan Sunda kemudian diklaim dan dibagikan ke beberapa bangsawan Sunda.
Mahkota Kerajaan Sunda yang berjuluk Binokasih Sang Hyang Pake, misalnya, diserahkan pada Kerajaan Sumedang Larang yang mendaku sebagai pewaris sah Kerajaan Sunda.
Ada pula watu gilang(batu tempat penobatan raja) yang dibawa oleh Sultan Banten ke keratonnya di Surosowan.
Lantas apakah Cirebon, Sumedang, maupun Banten kemudian benar-benar menjadi para penguasa baru Tatar Sunda? Jawabannya agaknya tak sederhana.
Pasalnya, belakangan malah muncul kekuatan politik tidak terduga dari Jawa yang pengaruhnya nisbi lebih “manancap” di Tatar Sunda.
Salah satu tengara kuatnya pengaruh entitas Jawa di Sunda adalah adanya undak-usuk basa (tingkatan bahasa) dalam bahasa Sunda masa kini.
Menurut Mumuh Muhsin Zakaria dalam Priangan: dalam arus Dinamika Sejarah (2011), entitas Jawa yang dimaksud itu adalah Kerajaan Mataram.
Klaim Jawa atas Tatar Sunda
Sepanjang abad ke-16 hingga awal abad ke-17, takhta Islam-Jawa besutan Wali Sangayang diampu oleh Demak dan kemudian Pajang mengalami gonjang-ganjing.
Hadiwijaya yang berkuasa atas Pajang rupanya tidak pernah benar-benar memiliki suksesor yang mumpuni.
Hingga kemudian, Ki Ageng Pemanahan dan anaknya Sutawijaya-lah yang justru muncul ke permukaan sejarah politik Jawa sebagai “pemenang” dari gonjang-ganjing kekuasaan itu.
Merekalah yang kemudian membangun cikal bakal Kerajaan Mataram.
Kerajaan inilah yang nantinya lebih ambisius untuk menyatukan Pulau Jawa dalam satu panji.
Kampanye politik penyatuan Jawa diinisiasi oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa ketiga Mataram. Demikianlah yang disampaikan oleh Babad Tanah Jawi seturut studi Willem Remmelink (2020).
Di masa yang sama dengan berkuasanya Sultan Agung, muncullah VOC yang juga tengah memekarkan pengaruh politik-ekonominya dari Jayakarta.
Menurut HJ de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (2020), hubungan antara Kompeni VOC dan Sultan Agung sering kali diwarnai ketegangan.
Pada 1614, VOC mengirim utusan ke Mataram. Menurut Zakaria, VOC melalui utusannya itu hendak menegosiasikan batas fisik kekuasaan Mataram dan VOC.
Saat itulah, Sultan Agung mengklaim bahwa wilayah Priangan (meliputi daerah pegunungan Jawa Barat sekarang) merupakan bagian dari wilayah kuasa Mataram.
Pendakuan Sultan Agung itu ternyata membuat geger masyarakat Sunda di Priangan.
Raden Suriadiwangsa, raja Sumedang Larang kala itu, kalang kabut setelah mendengar berita klaim Sultan Agung itu.
Dia lantas segera melakukan seba (menghadap untuk menyatakan setia) pada Sultan Agung pada 1620.
Dengan tunduknya Suriadiwangsa, resmilah seluruh Priangan masuk ke dalam wilayah Kerajaan Mataram.
Suriadiwangsa sendiri kemudian diturunkan pangkatnya dari raja menjadi bupati wedana(koordinator para bupati) bergelar Rangga Gempol Kusumahdinata.