KabarSunda.com- Banjir bandang yang melanda Kabupaten Sukabumi pada 4 Desember 2024 lalu telah menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan masyarakat.
Dampaknya, 39 kecamatan dan 176 desa terdampak, dengan risiko puluhan warga meninggal dunia atau hilang akibat bencana alam ini.
Direktur Eksekutif Walhi Daerah Jawa Barat, Wahyudin menyebutkan, hasil pemantauan citra satelit menunjukkan kehancuran hutan di beberapa kawasan di Sukabumi.
Kehancuran ini diduga kuat disebabkan oleh aktivitas pertambangan emas dan tambang galian kuarsa.
Salah satu kawasan yang terpengaruh adalah Kecamatan Waluran Jampang, di mana degradasi hutan diduga terkait dengan pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE), yang bertujuan menyediakan serbuk kayu untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhanratu.
“Dalam proyek ini, PT Perhutani selaku pengelola kawasan merencanakan pemanfaatan lahan seluas 1.307,69 hektare,” ungkap Wahyudin, dalam keterangannya kepada awak media, Jumat (13/12/2024).
Ia mengungkapkan, aktor yang terlibat dalam kegiatan ini antara lain Perum Perhutani, PT PLN, dan PT BA, dengan kemungkinan keterlibatan perusahaan seperti Sinar Mas dan beberapa perusahaan asal China.
Ada juga perusahaan lain yang bergerak di bidang serbuk kayu, seperti PT PLN Persero, PT Sinar Mandiri, dan PT Makmur Jaya Corporindo.
“Banyaknya perubahan fungsi kawasan hutan menjadi lahan tanaman kaliandra dan gamal, yang sesungguhnya hanya menjadi kedok untuk menutupi aktivitas tambang ilegal. Tanaman-tanaman ini kemudian dipanen untuk pasokan serbuk kayu ke PLTU,” jelasnya.
Selain itu, Walhi juga menemukan adanya kegiatan tambang emas di kawasan hutan, seperti yang dilakukan oleh PT Wilton di Ciemas dengan luas konsesi 300 hektare, serta di Kecamatan Simpenan oleh PT Generasi Muda Bersatu.
Bahkan, kawasan perhutanan sosial tidak luput dari aktivitas tambang, seperti yang terjadi di petak 93 Bojong Pari dan Cimaningtin dengan luas 96,11 hektare.
Sementara berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi, kawasan tersebut tidak termasuk dalam lokasi pertambangan dan bukan merupakan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Bencana ekologis yang melanda wilayah Sukabumi, menurut Wahyudin, jelas dipengaruhi oleh kontribusi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut.
Oleh karena itu, Walhi mendesak kepolisian untuk menegakkan hukum terkait tindak pidana lingkungan.
“Kami juga mendesak pemerintah untuk menuntut perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pemulihan lingkungan, mengganti kerugian yang diderita masyarakat, dan mengevaluasi areal perhutanan sosial yang dijadikan objek tambang,” tambahnya.
Walhi juga menegaskan keberatannya jika pemulihan lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat hanya dibebankan kepada negara. Wahyudin menjelaskan.
“Banjir bandang di Sukabumi ini terjadi akibat andil besar perusahaan, sementara keuangan negara bersumber dari pajak rakyat.” tegasnya.
Ke depan, setelah masa tanggap darurat berakhir, Walhi mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam bencana ekologis di Sukabumi.
“Kami juga berharap pemerintah tidak gegabah dalam memberikan izin kepada perusahaan ekstraktif dengan dalih investasi.”
“Bencana yang terjadi di beberapa tempat menunjukkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan ekstraktif dan seharusnya menjadi pelajaran,” tandas Wahyu.
Sebelumnya Viral di media sosial penampakan lahan gundul diduga lokasi tambang emas yang diduga menjadi penyebab bencana banjir hingga longsor di wilayah Selatan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Foto-foto lokasi tambang di wilayah Selatan Sukabumi beredar luas.
Bahkan terdapat video viral tayangangan Google Earth yang menunjukkan beberapa lokasi penggundulah hutan.