KabarSunda.com- Peneliti menjumpai beberapa sumber tertulis berbahasa Jawa Kuno di luar daerah kebudayaan Jawa, salah satunya di daerah Sunda.
Mungkin sebagian masyarakat Jawa dan Sunda, paham betul bahwa hubungan antara kedua etnis ini dipenuhi kesimpangsiuran.
Syaiful Azmi dalam “Bubat: Sisi Gelap Hubungan Kerajaan Majapahit Hindu dengan Kerajaan Sunda” (2020), misalnya, mengatakan bahwa hubungan kurang harmonis antara Pasundan dengan Majapahit secara historis hanya terjadi di sekitar terjadinya Peristiwa Bubat pada akhir abad ke-14.
Masih gelapnya riwayat hubungan di antara kedua etnis ini, keberadaan teks-teks berbahasa Jawa Kuno di daerah Sunda barangkali bisa menjadi petunjuk sejarah pertalian intelektual di antara keduanya.
Salah satu fakta yang muncul dari eksistensi teks berbahasa Jawa Kuno di Tatar Sunda adalah keberadaannya yang lebih tua daripada teks-teks berbahasa Sunda Kuno.
Bahasa Jawa Kuno bahkan merupakan bahasa yang paling awal digunakan oleh raja dari Kerajaan Sunda dalam penulisan prasasti—setidaknya yang telah diungkap sampai hari ini.
Prasasti tertua yang dikeluarkan oleh Kerajaan Sunda dalah Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) dari pinggiran Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi. Sebagaimana disebut oleh Hasan Djafar dkk dalam Prasasti Batu: Pembacaan Ulang dan Alihakasara Jilid I (2016), prasasti ini menyinggung soal penentuan batas wilayah suci bernama Sanghyang Tapak oleh seorang Raja Sunda bernama Sr Jayabhupati.
Para peneliti heran dengan bentuk penulisan prasasti ini, mereka menganggapnya janggal untuk kasus prasasti Sunda. Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015) menjabarkan kejanggalan-kejanggalan prasasti itu.
Bagi Danasasmita kejanggalan paling mendasar prasasti ini terletak pada format penulisannya. Tidak hanya menggunakan bahasa Jawa Kuno, struktur penulisan Prasasti Sanghyang Tapak juga persis dengan prasasti-prasasti di Jawa Timur—utamanya era Raja Airlangga.
Struktur Prasasti Sanghyang Tapak meliputi tarikh penerbitan prasasti, sambandha (perintah raja), manggala (seruan panggilan bagi para dewa), dan sapatha (kutukan bagi barangsiapa yang melanggar perintah raja).
Hal ini anomali apabila dibandingkan dengan struktur penulisan prasasti-prasasti Kerajaan Sunda di periode yang lebih kemudian, yang biasanya lebih pendek dan cenderung to the point.
Keanehan-keanehan inilah yang mendorong Boechari dalam artikel pendeknya “The Inscription of Garaman Dated 975 ?aka New Evidence on Airlangga’s Partition of His Kingdom” (2012), berteori bahwa Jayabhupati bukan asli orang Sunda dan masih kerabat Raja Airlangga.
Padahal sebenarnya prasasti berbahasa Jawa Kuno di Tatar Sunda bukan hanya Prasasti Sanghyang Tapak. Di beberapa tempat lain di Bumi Sunda juga ditemui beberapa prasasti berbahasa Jawa Kuno, seperti Prasasti Mandiwunga dan Sadapaingan dari Ciamis.
Maka itu, Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015) membantah teori Boechari dengan mengatakan bahwa Sri Jayabhupati identik dengan tokoh Raja Darmasiksa dalam naskah Carita Parahyangan.
Dasar argumen Danasasmita adalah bahwa nama Jayabhupati yang beranasir Dewa Wisnu memiliki kesamaan dengan keterangan Carita Parahyangan yang menyebut Darmasiksa sebagai perwujudan Wisnu.
Selain itu, dalam Carita Parahyangan juga disebutkan bahwa Darmasiksa adalah raja yang gemar mendirikan kabuyutan atau daerah suci, sehingga sejalan dengan keterangan Prasasti Sanghyang Tapak yang membicarakan pembatasan wilayah suci.