Budaya  

Mengenal Sejarah Kota Bandung Sejak Pertama Kali Berdiri Hingga di Masa Hindia Belanda

Ruas Jalan Asia Afrika Kota Bandung.(Dok-int)

KabarSunda.com- Kota Bandung mulanya adalah ibu kota baru Kabupaten Bandung, kabupaten di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram yang didirikan pada pertengahan abad 17. Sebelum Bandung, ibu kota kabupaten ini adalah Krapyak yang sekarang dinamakan Dayeuhkolot.

Seiring waktu, Krapyak dinilai sudah tidak layak menjadi ibu kota lantaran sering dilanda banjir setiap musim hujan tiba. Oleh karena itu, Bupati Bandung ke-6 yang bernama R.A. Wiranatakusumah II memutuskan untuk mencari lokasi yang tepat guna mendirikan ibu kota baru.

Dalam pencarian itu, sang bupati menemukan lahan kosong di tepi barat Sungai Cikapundung. la menetapkan tempat tersebut sebagai lokasi ibu kota baru lalu memulai proses pemindahan ibu kota pada awal tahun 1809.
Rupanya, Belanda yang saat itu menguasai nusantara nemiliki niat yang sama. Setahun setelah Bupati Bandung pindah ke ibu kota baru, mereka baru menyuratinya untuk memindahkan ibu kota kabupaten ke dekat Jalan Raya Pos. Secara kebetulan, ibu kota baru itu terletak di dekat jalan tersebut.

Akhirnya, Kota Bandung diresmikan sebagai ibu kota Kabupaten Bandung melalui besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Bandung.

Selama beberapa puluh tahun sejak berdiri, Kota Bandung berkembang lambat. Sampai tahun 1844, kota ini masih berupa desa kecil dengan jumlah penduduk sekitar sebelas ribu jiwa yang hampir seluruhnya adalah pribumi.

Lambatnya perkembangan Kota Bandung diakibatkan larangan untuk memasuki daerah Priangan, termasuk Bandung, bagi siapa pun tanpa izin. Larangan ini dibuat pemerintah Belanda agar mereka dapat mengontrol penuh perkebunan Priangan yang membuat mereka untung besar.

Larangan ini menimbulkan protes dari banyak pihak. Karena banyaknya protes, Priangan akhirnya dibuka untuk umum pada 11 Agustus 1852 melalui pengumuman dari Residen Priangan, Van Steinmetz, yang dimuat di surat kabar Java Bode.

Selama abad 19, Cianjur—ibu kota Keresidenan Priangan—diluluhlantakkan oleh gempa yang terjadi berkali-kali dan letusan Gunung Gede. Alhasil, ibu kota Priangan dipindahkan ke Kota Bandung pada tahun 1864.
Sejak menjadi ibu kota Priangan, Kota Bandung mengalami banyak perkembangan. Sekolah-sekolah mulai didirikan dan jalur rel kereta yang menghubungkan kota ini dengan Batavia dibuat. Bahkan, sebuah pabrik senjata yang menjadi cikal bakal PT Pindad dibangun di kota ini.

Ketika memasuki abad 20, Kota Bandung dikatakan mencapai masa keemasannya. Pada saat itu, kota ini sudah memiliki penduduk yang cukup banyak dan fasilitas yang memadai bagi warganya. Oleh karena itu, status Kota Bandung dinaikkan menjadi gementee (kota praja) pada tahun 1906 lalu menjadi stadsgementee (kota madya) pada tahun 1926. Peningkatan status ini membuat kota ini dapat mengurus dirinya sendiri.

Pada masa itu juga, muncul rencana untuk memindahkan ibu kota Hindia Belanda ke Kota Bandung. Menurut para ahli, Batavia memiliki masalah dengan kesehatan lingkungannya sehingga tidak layak lagi menjadi ibu kota.
Untuk mewujudkan rencana itu, sebuah rencana pengembangan kota dibuat. Dalam rencana yang dinamakan Plan Karsten itu, Kota Bandung dibagi ke dalam beberapa zona pemukiman berdasarkan etnis. Di samping itu, taman-taman juga dibangun untuk menghijaukan kota.

Rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda menarik banyak arsitek untuk datang dan mendirikan bangunan di Kota Bandung. Alhasil, terdapat sekitar 400 bangunan baru yang didirikan di kota ini dalam kurun waktu 1920-1940.

Salah satu bangunan dari masa tersebut adalah Gedung Sate yang dikenal dengan ciri khas berupa satu tusuk sate berisi enam butir di puncak atapnya. Gedung megah yang dibangun dengan gaya arsitektur Barat dan Asia ini awalnya akan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda yang baru.

Pada awal tahun 1940-an, Hindia Belanda digempur pasukan Jepang yang hendak menguasai wilayah tersebut. Belanda yang kewalahan melawan gempuran Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat dalam Perjanjian Kalijati tanggal 8 Maret 1942.

Perjanjian itu menjadi akhir kekuasaan Belanda di Indonesia. Bersamaan dengan itu, berakhir juga rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dan masa keemasan Kota Bandung.(*KS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *